Kebiasaan Lama

Assalamu’alaikum.

Saya tumpahkan sekalian ya yang bersliweran di pikiran hari ini. Supaya gak numpuk 😀 Mumpung kerjaan di kantor gak memerlukan waktu penuh buat nyelesein tugasnya. Kalau postingan-postingan sebelumnya dengan gaya bahasa yang sedikit lebih formal dan kaku, asli disini emang kepengin curhat.

Dua minggu di akhir Mei ini saya habiskan waktu dengan banyak urusan diluar, diluar kamar dan diluar lingkaran dengan 5 orang penghuni kamar. Alhasil selalu merasa ada yang aneh waktu masuk ke kamar, berasa asing. But, its no essential. Bukan ini yang pengen saya bahas.

Ada beberapa urusan lain yang terpaksa atau memang saya paksa untuk skip dan dilewatkan begitu saja. Salah satunya pendaftaran Indonesia Mengajar yang kedua. Entah ini dalih atau mulai realistis. Tapi mimpi tentang jadi pengajar muda pun langsung di skip. Melihat beberapa kali saya evaluasi tentang microteaching (praktek mengajar) hasilnya saya merasa sangat nihil. Tidak ada yang berarti disana, justru malah terkesan pelajaran yang saya bawakan membosankan 😦 syedih ya. Iya syedih.

Yang kedua adalah pendaftaran campaign via kitabisa.com yang padahal sudah diberi kesempatan langsung sama kak Timmy alumni FIM founder portal kitabisa. Campaign yang harus saya pasang tentang “Rumah Ramah” ini adalah mimpi yang ingin saya tumbuhkan di Ngawi. Maka saya berniat untuk memulainya dari mencari donasi untuk pembangunan. Tapi justru ketika konsepnya hampir matang, saya didera perasaan bimbang dan entah terbang kemana lagi mimpi itu 😦

Yang ketiga adalah perjalanan nonsense. Biasanya dalam melakukan perjalanan saya selalu berusaha untuk menghasilkan sesuatu, entah itu tulisan, entah itu pemikiran, entah itu obrolan ringan dengan sekitar. Sewaktu 36 jam perjalanan pulang-pergi Jakarta Malang dan Malang Jakarta. Tidak ada satupun yang tertinggal di benak saya. Pun tentang apa yang mungkin saja bisa saya renungi di jalan.

Saya lagi-lagi pada fase ragu seperti alvin yang dulu. Saya tiba-tiba menjadi sepesimis dulu. Saya benar-benar capek mencorat-coret mimpi-mimpi dan segala persiapannya. Untuk mengalihkan perhatian, saya sok sibuk dengan kegiatan diluar tanpa memikirkan itu lagi. Sungguh ini begitu payah. Tapi disisi lain saya seberusaha mungkin untuk terus memberikan self control. Hal-hal yang baik dengan menulis pendek-pendek meskipun hanya sebatas status bbm. Jujur itu sedikit banyak membantu untuk menumbuhkan pola pikir yang baik dan positif.

Baiklaah, mari tutup semua curhatan akhir hari ini. H-7 Ramadhan. Ada yang perlu kita sambut dengan sebaik-baiknya kondisi! Bismillah..

Meja kerja, 30 Mei 2015

Sekolah di Rahim Ibu

Rasulullah pernah bersabda, “jika seorang perempuan hamil, maka kedudukannya seperti kedudukan orang yang berpuasa, shalat malam, dan berjuang di jalan Allah dengan diri dan hartanya. Jika ia melahirkan, maka pahalanya tak dapat diketahui oleh seorang pun karena begitu besarnya. Jika ia menyusui, maka setiap tetes air susu yang dihisap oleh anaknya seperti memerdekakan orang merdeka dari keturunan Nabi Ismail as. Jika ia menyapihnya, malikat yang mulia mengepakkan sayapnya sambil berkata, ‘perbaruilah amalmu, dosamu telah diampuni’”

Mendekati bulan-bulan Syawal berita yang setiap minggunya terdengar adalah teman seperjuangan dan seangkatan menggenapkan separuh agamanya. Pun mulai banyak yang telah dipersiapkan Allah untuk dipanggil “ammah” 🙂

Entah pergolakan batin macam apa yang sedang mereka rasakan saat ini. Amanah yang dipikulnya tidak hanya lagi tentang tanggung jawab menjaga dirinya namun telah bertambah kondisi menjaga suami dan sebagian telah diamanahi untuk menjaga mahkluk kecil titipan-Nya. Mengamati mereka sama seperti mengamati laku kehidupan yang semesta gambarkan setiap detiknya. Sedang ditempa oleh semesta, dididik untuk dilahirkan kembali menjadi sosok yang baru.

Mendengar cerita salah satu teman saya perihal kehamilannya, hidup tidak pernah ada yang sia-sia karena proses penciptaan tidak terjadi begitu saja. Penghargaan akan hidup semakin terasa dekat karena ia merasakan sendiri ada yang sedang bergerak-gerak memaknai hidup didalam jiwa dan tubuhnya. Naluri yang dirasakan dengan ikatan ibunya seperti satu kesatuan. Kepada ibunya lah ia berhutang nyawa.

Dalam sebuah blog yang saya baca, milik teh Urfa . Saya begitu merinding ketika beliau bisa menceritakan secara detil kronologis kehamilan mulai dari tri semester pertama hingga tri semester ketiga pun dengan detik-detik menjelang kelahiran.

Berhubung, hingga saat ini lingkungan begitu mendukung adanya diskusi, chit-chat atau bahkan hanya sekedar celetukan tentang kehidupan pasca kampus. Maka urusan-urusan pembahasan seperti ini menjadi sangatlah biasa. Sering yang tidak (mau) terbayangkan adalah zaman yang akan terjadi pada masa anak-anak saya nantinya. Ketika dunia ini menjadi semakin canggih dan semoga mendewasa.

Terlepas dari itu semua, tidak pernah ada batasan dalam belajar untuk menjadi seorang ibu 🙂

Bismillah untuk semua para ammah dan calon ammah.

Tulisan awal 10 Oktober 2014.

Kemudian dengan sedikit revisi, 30 Mei 2016

Catatan dari Bunda Septi

Assalamu’alaikum.

Ada yang belum kenal dengan Bunda Septi Peni?

Bunda Septi Peni adalah Founder Ibu Profesional. Alhamdulillah pisaaan pokoknya, jadi panitian BLFIM kemarin bisa ngobrol banyak sama bunda. Tentunya banyak juga catatan yang bisa disimpen buat note pribadi. Siap-siap lah yaa :p

Anyway, meskipun catatan saya sedikit. Tapi sungguh, dengan catatan ini justru diri saya sendiri bisa membangun ingatan tentang bagaimana ketika Bunda memaparkan langsung.

Monggo disimak yang sedikit ini, saya buat poin2 yaa..

 

  • Membangun peradaban di dalam rumah tangga adalah dimulai dari seorang ibu
  • Keluarga haruslah mengerti arah tujuan hidup bersama, menjadi tim dalam rumah tangga
  • Membuat laboratorium rumah tangga, untuk membuat progres apa saja yang diperlukan untuk menunjang terbentuknya rumah tangga yang ideal
  • Membuat family strategic planning yang dibuat dalam kurun waktu dalam satu tahun sekali. Dalam kasus ini, Bunda Septi dan keluarga selalu membuat planning untuk satu tahun kedepan begitu seterusnya. Plan tersebut harus benar-benar dijalankan, agar keluarga mampu mengukur sejauh mana kemampuan mereka dalam menghadai masalah.
  • Miliki komitmen diri, selama apa yang kita jalankan itu menaikkan iman, maka jalankan
  • Dalam keluarga bangun mental kaya. Mental kaya adalah tangannya selalu diatas, bukan dibawah. Mental kaya adalah yang selalu bersyukur dan tidak mengeluh. Maka wajib bagi para ibu untuk menjadikan mental anaknya menjadi kaya.
  • Dalam mendidik anak, tanamkan pada diri sendiri bahwa anak memiliki rizqinya sendiri. Maka rizqi sudah pasti kemuliaan yang dicari, tidak akan ada cerita bahwa orang tua salah mendidik anaknya.
  • Selalu ingat rumus give and given.Urusan amanah kepada banyak orang, uruslah dengan sebaik-baiknya. Maka dunia, akan diurus oleh Allah

 

Bunda Septi bercerita saat mengurus anak-anaknya.

Pada umur 0-2 tahun, menjadi full mother. Dilarang keras menyusui anak-anak dengan melakukan hal yang lain. Apalagi sambil (nyambi-nyambi) sambil melakuka hal yang lain misal, nyusu anak sambil buka-buka hp, dan lain sebagainya.

Pada rentang waktu itu pula anak mulai dikenalkan dengan kedua orangtuanya. Tidak hanya secara dhohir, tapi juga batiniyah. Anak perempuan dekatkan dengan ibunya, anak laki-laki dekat dengan ayahnya.

7-14 tahun mulai disilangkan untuk mengenal. Anak perempuan dikenalkan dengan ayahnya, dan anak laki-lakinya didekatkan dengan ibunya. Agar ketika ia dewasa, dirinya telah mensugesti bahwa tidak ada orang lain selain kedua orang tuanya yang akan menjadi tempat pelarian untuk menceritakan masalahnya.

Sejak dalam kandungan, kenalkan anak-anak ada perjuangan ayah dan ibunya. Sekalipun ketika bekerja.

Menjadi seorang ibu adalah penentu terbentuknya peradaban. Maka ketika sudah menikah, andalah yang mensukseskan anak-anak dan keluarga 🙂

Selamat belajar!

Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional, Cibubur. 18.05.2016

IMG20160518093038.jpg
Sesi curhat-curhat colongan disela-sela kepanitiaan, bersama Bunda Septi

Dearest Sister :)

Ini ditulis khusus untukmu dek. Duduklah sejenak dan pahami kalimat mbak pelan-pelan. Tidak lama, tidak akan menyita waktumu menggambar atau kegiatan yang lain.

Untuk umurmu yang telah empat belas tahun membersamai kehidupan ini.

Pahamilah bahwa kita hidup tidak selalu mujur, tidak selalu mudah mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Memerlukan perjuangan itu wajar, tidak ada yang tidak mendapatkan ujian dari Allah. Siapapun dia. Meskipun kamu tidak melihatnya sekarang. Bahkan ada yang tidak secara langsung di penuhi Allah dan bisa dilihat oleh banyak manusia. Bisa jadi tidak dipenuhi di dunia, tapi akan dikabulkan di akhirat. Wallahu ‘alam.

Pahamilah bahwa apapun yang kamu miliki adalah pemberian dari Allah. Sebanyak apapun itu dan sedikit apapun itu.
Pahamilah ketika mendapat sedikit, lihatlah yang tidak memiliki. Lihatlah yang untuk makan nasi saja kesulitan. Lihatlah yang sekedar ingin minum air putih dingin saja tidak punya uang sama sekali untuk membeli air, apalagi kulkasnya. Jangan melihat mereka yang punya lebih banyak. Jangan melihat mereka yang lebih mampu beli ini itu. Dengan begitu kamu tau artinya bersyukur, ada yang lebih dibawah kita. Bersyukur dengan apa yang kita punyai saat ini.

Dan yang terakhir..

Pahamilah bahwa kita tidak pernah bisa request dilahirkan oleh orang tua seperti apa. Dilahirkan oleh siapa. Tetapi teruslah berbuat baik, berbaktilah kepada bapak ibuk. Karena merekalah kamu bisa punya teman sekarang, kamu bisa sekolah, bahkan kamu bisa menggambar dan dengan menggambar kamu bisa lebih tau kalau disana masih banyak tempat dan pengalaman yang akan memberikanmu kebaikan yang banyak. Karena merekalah sekarang kamu ada di dunia. Senantiasalah mendo’akan yang terbaik untuk keduanya. Karena kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi esok hari.

Ingat Allah, ingat sholat. Ingat semua yang kita punya apa saja itu semua karena Allah sayang sama kita.

Dalam perjalanan Ngawi – Malang, 090516. Untuk yang tersayang, Ina.

Menjadi Orang Tua

Assalamu’alaikum ^^

Well noted, alhamdulillah dapet mood lagi buat nulis setelah hampir sebulan vacuum. Karna satu dan dua hal.

Catatan ini ditulis selalu hanya untuk peringatan pribadi, alhamdulillah jika ada hikmah yg bisa dipetik dari kata-katanya yg terserak.

Suatu magrib saya mendapati anak kecil di masjid bermain2 dengan anak kucing. Saya tau, sebelumnya ia belum pernah berinteraksi langsung dengan hewan tsb. Namun, di sudut yang lain ibunya membiarkan si kecil memenuhi rasa penasarannya. Awalnya memang hanya menyentuh dengan dua jari sambil memberi jarak antara badannya dengan kucing tersebut. Dua jari, tiga jari kemudian ia perlahan berani menggenggam dengan kedua tangannya 🙂

Sungguh bentuk stimulus yang baik nak, pada fase itu di dalam hati sang ibu saya yakin ada yang bergejolak. Kalau-kalau si kecil akan dicakar, atau mungkin kucingnya yang akan di remas karna ia gemas melihat makhluk hidup yang baru ia kenal itu 😀 Saya yakin selalu ada perasaan gambling yang dimiliki orang tua manapun ketika pada fase-fase baru yang akan dilalui buah hatinya. Namun disitulah letak ikhlas dan yakin yang ditumbuhkan.
Kita tidak pernah bisa menutup kemungkinan bahwa segala macam bentuk ujian hidup seorang manusia pasti ada. Namun bagaimana kita menjadikan hal tersebut sebagai batu loncatan untuk menuju tingkatan selanjutnya.

Menaruh kepercayaan ternyata memang sesulit itu. Saya mengalami ketika harus melepas adik belajar naik motor sendirian. Bayangan apa saja yang berkecamuk silih berganti. Karena tidak selalu mengawasi pertumbuhannya dirumah, saya memang tidak tau sama sekali mengenai track record ia memiliki pengalaman terhadap benda baru tersebut. Suatu ketika ibu memercayakan disitu saya justru mengalah memilih untuk mengantar dan menemaninya *cemen ya* :”D

Saya masih belajar menjadi orang tua yang baik, karena sungguh masih amatiran.

Ngawi, 08 Mei 2016

Afnan (2)

Suatu waktu Afnan tanya di sela-sela persiapan ujian akhir kelas 6-nya.
*cepet amat udah kelas 6*

Afnan : Ibuk, Afnan sebetulnya sudah lama mau tanya ini. Kenapa kalau wajah malu tidak nampak seperti wajah sedih, wajah gembira, wajah senang dan lain sebagainya. Apalagi kadang-kadang kita, bisa menggambar ekspresi wajah-wajah itu.
Ibu : ……

Saya justru menjadi bertanya-tanya pada diri sendiri. Begitulah manusia, yang nampak diluar akan begitu mempengaruhi. Bahkan akan mampu menjadi tolak ukur terbentuknya sebuah argumen.

Dan kita seringkali lupa, bahwa semua hanyalah milik Allah, wajah cantik, senyum yang manis, jabatan yang tinggi, harta yang berlebih, teman yang banyak, hewan kesayangan, rumah yang megah dan masih banyak lainnya.

Kemudian saya teringat kutipan terkenal milik Sayyidina Ali ; tidak perlu menjelaskan siapa dirimu, mereka yang mencintaimu tidak memerlukan itu dan mereka yang membencimu tidak percaya itu.
Memang tidak ada yang bisa dibanggakan, sekalipun bermacam jenis topeng wajah yang berusaha ditampakkan.
Maka dari itu, kembalikan niat karna Allah, bukan untuk dilihat dan bukan untuk dinilai 😞

Afnan, lain kali semoga ibu bisa jawab ya

alvinareana, 030516