Hari ini dan 730 Hari Kemarin, Juga Seterusnya

2 Tahun Kemarin,
11 Desember 2017.

Untuk hari ini yang telah beranjak 730 hari lamanya. Entah sudah berapa kali kita tersenyum, menangis bahkan berselisih paham bersama.
Seperti apapun detik detik berjalan setelah ini, semoga saat mengingat hari ini membuat kita selalu memahami bahwa kebersamaan ini haruslah berakhir di tempat terbaik yg senantiasa kita cita-citakan. Maka, sebagaimanapun melangkah, tetap Dia yang utama.

Meski sering mengulang-ulang pernyataan, sedih, senang, kecewa, dan menangis. Kita tetap sepasang hamba yang terus mencoba menguatkan rasa. Belajar terus menerus menjadi terbaik untuk kebersamaan. Sebab mengerti betapa tak rela jika ada yang terluka.

Meski kemarin kubilang “Terima kasih mas” berulang kali, nyatanya kau hanya ingin ditemani seraya dipijat tangan dan kaki sembari bercanda. Dan aku masih saja memberi bualan kecil saat kau pulang kerja, melontar kode mengapa tak dibawakan cokelat. Padahal semua itu hanya butuh dikatakan. Saling terucapkan. Sebab kita bukan cenayang, tapi terus berharap telepati menjadikan apapun tak perlu lagi disembunyikan.

Untuk hari ini di dua tahun yang lalu, yang telah membuat kita bertumbuh bersama. Membuat kita tak lagi takut kehilangan. Sebab telah mengerti arti saling menjaga. Menjaga pandangan dan memelihara kemaluan. Aku dan kamu sepasang pakaian.

Dan sampai hari ini sejak dua tahun yang lalu, padamu aku berterima kasih atas segala kurangku. Yang mestinya, hanya ridhamu permudah jalanku. Meski masih saja sering kutawar. Mengapa tak boleh.
Dengan segala ketakmampuanku menimbang seberapa besar rasanya memikul beban menjadi imam. Mempertanggung jawabkan dunia dan akhirat anak dan istrimu. Maafkan aku, jika masih saja sering kalimatku melukai, candaanku terlalu menyakiti, abaiku melalaikan diri.

Sejak hari ini, kita tak hanya aku dan kamu. Ada Husna yang selalu ingin menyempil diantara kita. Nafasnya menderu dan tawanya melengking memperjelas keberadaannya. Untuk itu aku percaya, ingin menjadi sebaik-baiknya hamba untuk kita saling bersama. Bertiga dan berbilang berapa nantinya. Meski masih tertatih dan terus belajar. Meski sesekali jatuh dan terluka. Cukuplah kalian menjadi hadiah dariNya.

alvinareana. 11 Desember 2019

Memberi Ruang, Merawat Pernikahan

Akhir bulan adalah sebuah masa dengan banyak sekali deadline. Meski suami tidak mewajibkan terlaksana dengan selesai tetapi ada perasaan mengganjal jika tak kunjung diupayakan untuk selesai.

Btw, apasih emangnya deadline seorang istri dan ibu rumah tangga? 😁

Mengerjakan ini sembari menyelami perasaan yang lain.

Adalah seorang suami yang baik dan mengerti bahwa perempuan yang dinikahinya adalah anak manusia yang masih punya mimpi. Pernah diperjuangkan sedemikian hingga oleh kedua orangtuanya. Pernah memiliki cita-cita pribadi setinggi langit. Pernah menjadi harapan orang banyak.

Kini setelah menikah, semuanya tampak seperti harus dinomor duakan. Menunggu persetujuan. Mencari izin. Mengalah untuk kepentingan yang lain. Mungkin kurang lebihnya, begitulah posisi perempuan setelah menikah.

Maka, memberinya ruang gerak untuk bertumbuh adalah sebuah apresiasi untuk merawat pernikahan. Menjadikan cita-citanya penting. Memahami bahwa ia memiliki sesuatu yang juga layak untuk diperjuangkan. Meski suami tau, entah kapan tiba masanya. Meski suami mengerti, apakah itu akan segera terwujud atau butuh waktu lama untuk sabar menemani perjalanannya. Memberinya ruang dan kepercayaan adalah bentuk cinta. Percaya bahwa mimpi-mimpinya patut diwujudkan bersama. Percaya bahwa mimpi perempuan yang ada disisinya kini adalah bagian dari miliknya.

Melihat tumpukkan deadline, mengevaluasi laporan akhir. Aku menjadi mengerti jika kepercayaan yang mas bangun sampai sejauh ini bukanlah hanya perkara untung rugi. Bukan hanya persoalan keluar masuknya materi.

Tapi lebih kepada, percaya bahwa aku bisa belajar banyak. Percaya bahwa aku bisa bertumbuh meski dalam ruang gerak yang terbatas. Percaya bahwa mimpiku patut untuk diwujudkan. Meski entah kapan sampai pada tujuan.

Memberi ruang adalah bentuk cinta. Bentuk merawat pernikahan.

Dari Husna ; Satu Tahun Bertumbuh Bersama

Maasya Allaah tabarakallaah
Sudah satu tahun nduk :’)
Tidak terasa sungguh, rasanya seperti baru kemarin Husna pertama kali tiba-tiba ada didekat ketiak ibuk 😂
Setelah bermalam-malam drama pingin ketemu ya, tapi ternyata masih nunggu tanggal merah dulu.

Husna tau, sampai saat ini kalo boleh ibuk memberi sesuatu yang paling spesial yg ibuk punya. Ibuk akan kasih buat ayah. Tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih ibuk untuk yang lain, seperti buat mbahti, mbah oyo, nenek maupun kakek dan keluarga besar.

Karena yg ibuk punya cuma satu. Khusus buat ayah. Yang sudah ikut berjuang sekuat ini. Membersamai lelah dan tangis perjuangan. Yang bagi ibuk, ini tidaklah mudah.

Izinkan ibuk mengenang memoarnya dengan bahasa yang lebih mudah ya, Husna.


Menjadi ibu baru tidaklah mudah. Waktu itu, aku sempat bersikukuh untuk melahirkan di tanah rantau. Yang pastinya minim support system keluarga besar. Tapi setelah mempertimbangkan banyak kemungkinan, akhirnya kami berdua menerima harus beberapa minggu long distance dengan mas. Beliau bersedia rela pulang Surabaya-Ngawi setiap minggu demi menjaga anak dan istrinya tetap pada satu frekuensi.

Karena sungguh kondisi hormon ibu baru sedang mudah naik dan turun. Sempat jahitan bekas melahirkan yang sudah kering dalam waktu seminggu, tiba-tiba menjadi nyeri lagi. Sempat pula rasanya badan setiap malam menjelang tidur hingga pagi hari jari-jari tangan hingga pergelangan terasa ngilu dan menghambat aktivitasku. Bahkan itu terjadi sampai kurang lebih 9 bulan lamanya.

Dan aku yang kala itu seorang ibu baru. Yang kadang suka tiba-tiba takut salah cara menyusui, bayiku yang jika menangis aku tak tau apakah itu kekenyangan atau justru belum kenyang. Bahkan pernah terfikir olehku bagaimana jika ia menangis saja meronta tanpa aku bisa mengartikan tangisannya. Lalu bisa jadi aku takut jika salah menggendong, maka pernah sekali aku tiba-tiba begitu marah pada suami saat rasanya diri ini tak becus menjadi ibu. Karena bayiku yang tak mau tenang saat kugendong. Kufikir ada tangan kakinya yang kram karena tak nyaman akan gendongan ibunya.

Dan kejadian itu membuat penyesalan yang masih saja membekas dalam ingatan. Alhamdulillah Allah beri nikmat dengan betapa lapangnya kesabaran suami, maka dengan itulah aku mesti menggandakan syukur setiap waktu. Sungguh ibu baru bisa semenakutkan itu.

Ingin kuceritakan tentang satu hal. Tapi ini akan panjang memang, jika tak berkenan. Lewati saja ya…

Kian hari kian bertambah kulihat berita menyedihkan. Seperti seorang ibu tega membunuh anaknya, seorang ayah membunuh anak dan istrinya. Dan perkara-perkara serupa dan jika ditelusuri sebab musababnya adalah ketidak siapan mereka dalam kondisi rumah tangga, pernikahan dan kelahiran anak.

Lantas, jika pernikahan terjadi bukan atas kesadaran kedua belah pihak, bukan atas ilmu yang dimiliki keduanya. Apakah kondisi rumah tangga akan bisa terjaga sehat untuk ditinggali sang bayi? Yang dirinya baru saja merasakan perbedaan kenyamanan dari dalam rahim.

Apa jadinya jika terjadi sebuah kelahiran diluar pernikahan, akankah ada tanggung jawab bernama ibu dan ayah yang akan menjamin terjaganya kehidupan sang bayi yang baru lahir itu. Sungguh itu semua terjadi karena laki-laki dan perempuan sadar akan tanggung jawabnya sebuah ikatan pernikahan. Sebuah ikatan yang Islam buat demi menjaga kemaslahatan generasi penerus. Sebuah ikatan yang Islam buat dengan sebaik-baiknya aturan.

Betapa tidak? Islam memandang urusan seks bukanlah menjadi hal yang tabu, kotor, menjijikkan bahkan terkutuk.

Islam menciptakan ruang bernama pernikahan untuk membingkai seks dengan cara yang indah, beradab dengan do’a, rasa cinta dan ketersalingan antar hubungan pernikahan. Yang membawa pada lahirnya generasi penerus pejuang agama Allaah.

Demi terbentuknya rumah yang tentram akan keluarga yang baik. Keluarga yang saling menumbuhkan atas kecintaannya pada sang Pencipta.
Demi terciptanya langit-langit rumah dipenuhi dengan tawa khas anak-anak dan celotehannya yang menyenangkan. Bukan tangis karena tidak terjaminnya kehidupan.

Karena tumbuhlah kehidupan baru sungguhlah seperti pasca melahirkan menjadi orang yang baru. Khususnya bagi sang orangtua. Lahir sang bayi, lahirlah menjadi ibu baru dan ayah baru. Lahir dengan pribadi yang baru.

Betapa jauh sekali ya kalimat-kalimat ibuk nduk.

Sesaat sebelum hari ini, suamiku hanya mengupayakan apa yang menjadi kewajibannya. Menjamin makananku, menjamin nustrisiku sebagai ibu hamil. Mencukupkan kebahagian lahir dan batinku. Hanya aku seorang.
Kini setelah bayi kami hadir, beliau harus memperjuangkan satu hal yang baru. Menjamin anak kami berada dalam lingkungan yang aman. Kondisinya terjamin dan nyaman. Apa yang menjadi miliknya adalah sesuatu yang mesti terjaga. Menyediakan kebutuhannya. Hadir sepenuh hati, bersedia tertunda impian dan ambisinya saat harus membersamai seorang mahkluk kecil, penghuni baru yang inginnya hanya harus dimengerti. Dan itu menambah daftar kewajiban suamiku setelah menjadi ayah.

Bukankah itu sesuatu yang tidak mudah? Jika tak ada kesadaran atas nama pernikahan. Maka dengan membersamai momen hari ini, mengingat perjuangan diri sendiri, aku sungguh-sungguh ingin mengingatkan diri bahwa menjadi orangtua tidaklah mudah. Tetapi dengan terus berusaha dan berupaya, in syaaAllaah Allaah akan berikan kemudahan.

Maka, Husna. Ibuk hanya ingin bilang. Hadirmu adalah sebuah bentuk petualangan baru untuk ibuk dan ayah. Membuat kami harus terus senantiasa belajar menjadi baik untuk diri kami sendiri. Agar kami dapat menyiapkanmu menjadi sebaik-baiknya cahaya yang akan bersinar pada waktunya. Berpendar dengan manfaatnya. Do’akan ibuk dan ayah sanggup menjalankan amanah ini ya 🙂

Selamat satu tahun bersama ayah dan ibukmu nduk. Yang masih belum sempurna, tapi kami akan terus berusaha.

Mencintai Keputusan Mengasihi

Disclaimer :

Cerita dibawah ini, belum seberapa dibanding cerita “pejuang ASI” diluar sana.

Di awal kelahiran Husna saya tidak begitu merasakan baby blues atau sampai pada post partum depression (PPD). Alhamdulillah..

Support keluarga begitu penuh saya dapatkan. Hanya LDM yang menjadi ruang melapangkan hati. Perjumpaan di Sabtu-Minggu membuat kami terbatas bonding satu dengan yang lain. Husna-saya-suami. Tapi kami harus mengerti ini telah menjadi pilihan yang sudah ditentukan di awal. Meski tiap-tiap perjumpaan saya dan suami tidak selalu bisa dalam satu frekuensi. Terkadang masalah sepele bisa menjadi pemicu tutup mulut satu sama lain. Kami pernah pada fase ini.

Sama-sama menangisi kondisi yang sulit dipahami. Menjadi orang tua baru yang tak kunjung mengerti apa yang diinginkan anak. Menjadi orang tua baru yang mudah tersulut emosi ketika membandingkan siapa yang paling capek. Syukur alhamdulillah ini tidak berlangsung lama…

Kondisi medis saya maupun Husna juga baik-baik saja. Semua berjalan semestinya. Jahitan sembuh total di waktu yang cepat. Pemulihan kondisi tubuh juga terhitung mudah dan lancar. Husna tidak mengalami gangguan pertumbuhan apapun. Lahir dengan berat badan dan panjang badan yang masuk kategori baik. 3,3kg dan 49cm.

2 jam pasca kelahiran ASI saya keluar. Sempat dibuatkan susu formula, namun alhamdulillah lebih dulu ASI yang masuk. Bidan pun pro ASI. Seminggu, dua puluh hari mengASIhi berjalan baik-baik saja, kenaikan berat badan Husna juga menunjukkan hasil yang baik. Grafiknya bagus dan optimal.

Puting lecet sewajarnya saat masih diawal-awal karena lidah bayi masih kasar dan sembuh dengan kompresan air hangat yang saya rutinkan setiap hari. Semuanya berjalan begitu saja. Tidak begitu menguras keletihan fisik dan emosi.

Perjalanan kami dimulai! Sebagai tim baru yang harus senantiasa bertumbuh meski kadang matahari tak nampak menghangatkan tubuh.

2 bulan usia Husna, kami memutuskan tinggal bertiga di tanah rantau. Jauh dari bala bantuan keluarga besar. Menjalankan aktivitas semuanya bersama-sama (bertiga). Menjadikan kami belajar sebagai tim yang solid. Beruntung mas Muiz membantu dalam banyak hal urusan rumah tangga, seperti mencuci baju dan mencuci piring.

Sampai pada akhirnya, rutinitas menimbang berat badan Husna kembali dilakukan. Pun berbarengan dengan imunisasi. Saya deg-degan. Perasaan (apakah saya becus mengurus Husna) muncul ke permukaan.

Qadarallah, hasil grafik yang didapat pada hasil perhitungan berat badan Husna kali ini menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Berat badannya naik tetapi tidak signifikan sesuai target minimal. Garis pada grafiknya mulai lurus. Itu tandanya ada yang perlu dievaluasi. Saya mulai goyah. Pikiran buruk banyak menggelayut di awang-awang.

Mulai dari bisakah saya mengASIhi Husna hingga 2 tahun? Cukupkah ASI saya diminumnya hingga beres ASI Ekslusif?

Teringat disaat banyak sekali tetangga mertua yang memberikan bayi-nya MPASI dini. Pikiran khawatir saya terbang kesana. Bagaimana jika ternyata Husna harus MPASI dini?

Apakah saya menangis? Ya..

Tidak menyangka kemudahan diawal-awal kelahiran mengantarkan saya pada titik ini.

Saya pusing. Saya takut keputusan ini salah. Keputusan untuk tetap bertahan tidak menambahkan apapun pada Husna selain ASI. Saya takut keputusan keukeuh saya ini memperburuk keadaan.

Pergilah kami ke Dokter Spesialis Anak (DSA). Evaluasi dilakukan dan Husna dinyatakan sudah turun peringkat grafik pertumbuhannya. Meski belum terlambat kami membawanya kesana. Itu artinya masih sangat-sangat mungkin bisa diperbaiki. Semenjak Husna bisa menyusu dengan posisi tidur, ternyata disinilah awal mula masalah ketidak efektifan itu muncul. ASI yang masuk ke tubuhnya tidak maksimal.

Tetapi, ternyata disinilah kesadaran saya muncul. Bahwa mengASIhi memang tak pernah semudah kelihatannya. Disinilah hati saya diuji, ketika suami-pun merasa pasrah dan menyatakan “Ngga apa, toh anaknya masih gemuk ini. Masih aktif ini. Masih ceria dlsb”

Dan saya masih keukeuh dengan “mencegah Husna gagal tumbuh hingga stunting”

Ayolah, dukung aku ikhtiar penuh untuk tetap mengupayakan terbaik untuk Husna. Setiap saat ketika saya bisa pumping. Saya usahakan seberapapun banyaknya yang didapat akan saya berikan pada anaknya. Husna perlu ditambahkan booster ASI, selain direct breastfeeding dari saya. Dengan cara apapun, harus ditambahkan kuantitasnya.

Serepot apapun caranya.

Mungkin banyak yang belum aware dengan apa itu istilah stunting. Jika saya belum memiliki anak sampai saat ini, mungkin pengetahuan saya mengenai hal ini juga belum sampai pada tahap ini. Bahkan saya dan suami sempat mendebatkan apakah ini penting untuk diperhatikan. Sampai kami menyimpulkan sesuatu, jika kami masih mampu mengikhtiarkan dengan banyak cara untuk memberikan yang terbaik pada Husna, kami ingin terus mencobanya.

MengASIhi tidak hanya sebatas memberinya penghidupan. MengASIhi membangun jiwa, raga dan nalurinya menjadi anak yang hangat hatinya. MengASIhi mendekatkan hati kami (saya dan Husna). MengASIhi membentuk telepati kami. MengASIhi menyejahterakan keluarga kecil kami. Bahkan menentramkan hati saya dan suami.

Disini, saya (dan suami) tengah diuji. Untuk mencintai keputusan kami, mengASIhi Husna sepenuh hati.

Bismillaaah, mohon do’anya. Siapapun yang sempat membaca tulisan ini 🙂

Semoga kami mampu menjadi orang tua yang baik dalam membersamai Husna bertumbuh. Semoga ikhtiar yang sedang kami jalankan berjalan dengan lancar dan dimudahkan Allah.

Note :

Belajarlah sampai benar-benar mengerti bagaimana cara menyusui yang baik. Posisi dan perlekatan yang tepat. Mengerti dan memantau kebiasaan dan perubahan aktivitas dalam menyusui.

Juga memantau tumbuh kembang anak dengan baik.

Anak-anak yang kuat dan sejahtera. In syaa Allah jadi tabungan jariyah nantinya.

Sekali lagi, bismilaaah Allah mampukan kami.

#catatanASIHusna

Dari Husna : Belajar Sabar

“Sabar…sabar… Allah sayang kalo Husna sabar” (sambil tak elus-elus dadanya pakai tangan Husna yang kuraih)

Sikap seperti ini akan kulakukan waktu bingung harus menghadapi Husna yang lagi bingung juga menyampaikan maksudnya padaku. Semakin usianya bertambah memang apa yang dia maksudkan dan kami kurang paham akan keinginannya, dia akan tambah menyikapinya dengan gerakan-gerakan tertentu yang spesifik. Lapar sikapnya bagaimana, ngantuk sikapnya bagaimana, bahkan hanya sesederhana ingin diajak ngobrol-pun menunjukkan sikap yang berbeda. Bayi memang cerdas ya 🙂

Dari situ kami (saya atau suami) tau kalau ada yang tidak pas dengan perlakuan kami pada Husna.

Menjadi orang tua memang menjadi manusia baru. Mempelajari banyak hal baru. Belajarnya sepanjang hayat, sepanjang usia.

Saat kami bisa mengerti apa yang diinginkan Husna, rasanya seperti menambah catatan baru di kamus kami “kamus orang tua” namun ketika kami masih saja gagal mengartikan maksud keinginannya, seolah-olah seperti teka-teki yang gemas tak kunjung terpecahkan.

Bagiamana tidak, menjadi orang tua itu melatih kesabaran?

Nyatanya memang harus menjadi yang lebih sabar ketika waktu istirahat tersita.

Yang lebih sabar ketika pikirannya bertambah.

Yang lebih sabar ketika siang malam terjaga.

Yang lebih sabar ketika ada yang lebih utama dan menjadi prioritas.

Tapi itu semua karna Allah sudah percaya bahwa amanah ini tidak pernah salah untuk diberikan.

Karna Allah menghendaki kami dididik untuk belajar bersabar langsung dari sosok kecil yang menjadi anugerah besar dalam hidup pernikahan kami.

Menjadi orang tua, menjadi teladan.

Mengajari Husna tentang sabar, kami haruslah menjadi sabar terlebih dahulu.

Bismillah, Allah mampukan 🙂

Merawat Diri, Merawat Pernikahan

3 bulan pasca melahirkan rasa-rasanya kondisi wajah dan tubuh jadi ngga menentu. Belang sana-sini, meskipun badan ngga terkategori yang melar dan tak kunjung kembali. Masih awet aja ramping (banget) nya.

Tapi, ada beberapa titik yang bikin suka ngga pede tetiba. Apalagi didepan suami. Karna saya bukan tipikal orang yang suka bermake-up ria. Bahkan punya blash on dan eyeshadow itu menjelang menikah. Dan pasca nikah cuma sesekali dipake-di rumah.

Suami juga selalu telat menyadari kalo ternyata ada yang berwarna di pipi ato dibagian mata. Jadi yasudahlah..

Tapi, seenggak doyannya dandan, bagian merawat diri bisa jadi bagian dari merawat pernikahan kan ya.. Menurut sudut pandangku yang terbatas ini, merawat diri semacam jadi bagian dari menjaga bagaimana diri ini tetep menenangkan dipandang pasangan. Menentramkan hati gitu.

Suka sering ngga nyaman dan mikir kalo pas dalam kondisi masih baru banget selesai masak, lalu suami pulang kerja. Bau minyak, bau dapur. Ato kalo sekarang, suka bau asi 😀 hehe

Begitupun dengan pilihan pakaian. Setelah menikah, acc beli baju termasuk yang lumayan susah banget lolos qc suami 😂

Pasalnya, entah kusuka modelnya suami tak suka warnanya. Akhirnya cancel. Yagimana, niat yang utama bikin suami betah memandang.

Merawat pernikahan itu ternyata banyak banget printilannya ya 🙂

Tapi sebetulnya banyak ide-ide sederhana yang bisa dilakukan supaya pasangan tetap membuncah setiap masanya.

Salah satunya, lewat merawat diri.

Pun, in syaa Allaah juga banyak hal yang bisa dilakukan suami merawat dirinya demi menentramkan hati istri 🙂

Wallahu ‘alam bisshawab

Ibu Yang Menangis

Kini aku tau,

Aku tidak perlu lagi malu mengaku pada anakku jika aku memanglah seorang ibu yang cengeng. Menangis didepannya saat aku ditinggalkan oleh ibuku untuk mengurusnya seorang diri (bersama suami) di tanah rantau.

Ternyata sesesak ini didada, rasanya melepas perjumpaan. Meskipun aku tau pertemuan itu akan datang lagi dan meski memang entah kapan.

Meskipun tak terhitung lamanya aku merantau, tapi pulang ke pelukan ibu memang tempat pulang terbaik :’)

Aku akan selalu kangen ibu meski hari itu seharian aku bertemu dengannya. Apalagi jika tak bertemu?

Setelah menjadi ibu baru, disinilah aku mengerti tentang hakikatnya tidur paling akhir dari siapapun di rumah, makan paling akhir dari semua anggota di rumah, yang paling khawatir tentang kondisi anggota keluarga. Yang terjaga di malam-malam panjang saat usiaku masih belia, yang terantuk-antuk menjagaku saat aku harus sakit, yang terbangun di awal waktu memastikan semuanya tersedia di pagi buta.

Aku menjadi tau.

Kini aku tau, mukena putih dan sajadah panjang ibu, saksi pahalanya tersimpan rapi.

Dan semua perabot yang setiap hari menjadi temannya berkisah, melegakan hati.

Suami…

Seringkali luput ada yang sedang lapar butuh dibuatkan sarapan, tapi beliau rela menahan sebentar, lebih peduli karena kita sedang pusing dan flu.

Seringkali luput ada yang butuh hanya untuk diambilkan minum, tapi beliau lebih memilih mengambilnya sendiri karena tau kita sudah banyak melayaninya ini dan itu.

Seringkali luput ada yang ingin sekedar diberi waktu bermain games, tapi beliau memangkas waktu me-time nya karena tau kita butuh untuk menyalurkan obrolan dan 20ribu kata.

Seringkali luput, ada yang tidak bisa dimintai pertolongan dengan rincian yang banyak. Karena beliau bukan makhluk multitasking. Tapi beliau tetap rela meletakkan semua lelahnya usai bekerja demi meringankan keluh kesah kita.

Ialah suami. Suami yang ketika kita didepannya mudah untuk meneliti kekurangannya, lupa mengembalikan handuk, lupa mengunci pintu saat malam, lupa mematikan kran air. Atau lupa melipat sarungnya.

Tapi kekurangannya adalah jalan pahala bagi kita. Keluputannya adalah ladang ridhanya turun untuk kita. Kehadirannya adalah mencukupkan hidup kita bahkan menyempurnakan agama kita dimata Allah. Allah mencatatkan berlipat pahala saat menjadi manusia yang bersyukur berada disisi suami kita.

Ialah suami. Imam yang telah memilih makmumnya pun dengan segala kekurangan yang ada pada diri kita. Yang tak pernah beliau tulis, tak pernah beliau jabarkan detilnya satu persatu.

Status yang Tak Lagi Sama

Bismillahirrahmanirrahiimm..

Akhirnya kembali posting dengan kondisi yang sudah berbeda.

11 Desember yang lalu, arsy Allah bergetar dengan diawali kalimat syahadat yang bapak baca seiring terbacanya sebuah ijab dan qabul berpindahnya tanggung jawab mengenai saya ke mas Muiz sebagai suami.

Maka setelah prosesi itu, telah berubah status saya menjadi seorang istri.

Baru sembilan hari berjalan, baru saja selesai memikirkan akan ada apa esok hari yang dihadapi bersama, baru saja menyelesaikan list jadwal yang disusun berdua, baru saja kami gantungkan lagi harapan-harapan untuk keluarga kecil kami. Kami telah berjanji pada diri kami sendiri bahwa apapun yang terjadi kami akan menguatkan pijakan bersama. Semoga kuat. Semoga sabar :’)

Mohon do’anya 🙂

Surabaya, 20.12.17

alvinareana – muizlidinillah

Hadiah dari Langit Bagian 4 : Nasehat Diri yang Sesal


Malang, 2016

Sebuah keletihan hebat melanda dan rasanya jika bisa, ingin segera saya akhiri saat itu juga. Untuk tidak lagi berharap pada manusia.

Adalah sebuah keniscayaan bahwa manusia terbentuk dari masa lalu, masa yang sedang dijalani saat ini serta masa depan. Tetapi adalah pilihan terbaik untuk meneruskan langkah serta memperbaikinya demi kehidupan yang lebih baik setelahnya.

Saya menyadari ada banyak hal yang jika disesali hanya akan menjadi gunung batu yang mengganjal di ulu hati. Saya putuskan untuk melangkah maju dalam kelimbungan dengan cara menjauhkan diri dari semua yang memberi potensi konflik.

🙂

Sungguh tiada guna hidup masa muda hanya untuk memikirkan bagaimana jodohmu nantinya.

Sungguh tiada guna hidup masa muda hanya untuk mendekatkan diri pada obyek-obyek yang dalam pikiranmu adalah penyelamat masa depanmu.

Sungguh akan mampu berdaya guna jika hidup masa muda hanya untuk melakukan satu. Melakukan kebaikan.