Kehilangan itu Niscaya

Terhitung lima jam berlalu, ketika saya menuliskan ini, fikiran sudah sedikit fresh. Lalu yang muncul pertama kali adalah yuk nulis yuk.

Jum’at, 28 Juli 2017 10.53 WIB

Menjelang sholat Jum’at saya berjalan sendirian di sebuah kampus, ingin menjangkau kantin yang tinggal beberapa meter lagi. Saya berhenti sebentar didepan sebuah lapangan dan jalan yang sedikit lengang karena ada seorang asing bertanya tentang arah gedung sebuah fakultas yang tidak saya kenali. Karena saya bukan mahasiswa di kampus tersebut.

Pertanyaannya kenapa saya bisa jalan-jalan sendirian (?) di kampus orang pula (?)

Pertama, saya ingin bertemu teman yang sedang kuliah disana, meski pesan Whatsapp saya tak kunjung dibalas, karena beliau masih sibuk. Maka saya parkirlah motor dan saya memutuskan berjalan kaki sebentar menuju kantin kampus tersebut. Sambil wifian (?)

Kedua, saya adalah orang yang sering sekaliiii merasa nyaman kesana kemari seorang diri.

Kembali ke orang asing-

Dia berhenti sejenak, bertanya dan saya menjawab tidak tahu. Lalu dengan cepat, dia meminjam handphone untuk miskol temannya. Iya miskol, ujarnya. Karena pulsa saya ada, maka tersambunglah telfon tersebut dan dengan cepat lalu diangkat. Sempat terjadi pindah handphone dan pindah lagi. Dari tangan saya ke tangan orang tersebut dan ke tangan saya lagi dan balik ke tangannya lagi.  Tiba-tiba saya menjadi blank, saya tidak ingat bagaimana dia menawarkan sebuah hpnya yang jadul sebagai jaminan. Beberapa detik kemudian, hp saya telah dibawanya naik motor.

Lima menit saya masih menunggu, diam saja disitu, delapan menit. Sampailah sepuluh menit, saya baru panik. Pikiran positif saya tentang “oh iya itu tadi cuma dipinjem” kian memudar. Nangis, sudah tumpah semua.  Saya kelimpungan, tidak terfikirkan apapun. Mencoba mencari pertolongan, dapatlah saya seorang mahasiswi kampus tsb. Saya memintanya untuk membantu menghubungi terus nomor di hp itu, masih tersambung hingga kira-kira 20 menit lamanya. Kami berdua mencari bala bantuan lain dan mengupayakan lacak via gps. Ternyata gagal, karena gps saya masih nonaktif.

30 menit berlalu, tangis saya sudah hilang. Ada rasa pasrah, ada rasa bagaimana jika terus dicoba. Maka telfonpun terus dilakukan.

Nyambung!

Nyambung, diangkat-tanpa suara. Putus.

Nyambung lagi! Lagi-lagi diangkat tanpa suara.

Nyambung lagi! Tut.

Tut tut.

Tuuutt.

Sudah, akhirnya saya menghela panjang. Ikhtiar sudah, gupuh juga sudah. Sisanya, jika rejeki pasti kembali, kalau tidak. InsyaAllah diganti yang lain.

Kata orang kebanyakan, itu adalah gendam. Sebuah tindakan kriminal entah mencuri, mencopet, dkk dengan cara membuat korbannya tidak menyadari. Entah dibagian mana saya dibuat tidak sadar, tapi saya merasa kejadian itu cepat sekali terjadi.

🙂


Itu baru handphone.

Pikiran saya terus berkelebat kejadian tadi, memikirkan banyak hal. Tapi sesal memang selalu diakhir dan tentu sama sekali tak berguna apa-apa. Allah seperti ingin menyadarkan banyak hal untuk saya.

Hati saya terus membatin, itu baru hp. Sesakit itu manusia yang suka menggantungkan perasaannya terlalu jauh pada kefanaan.

Macam takdir. Ketika diingat-ingat, lalu membuat pengandaian (coba tadi gini, coba tadi gitu) kalau sudah takdir maka kun. Allah sudah membuat nas  hari ini kamu akan mengalami ini. Seberapa kuat kamu menjalaninya? Seberapa ikhlas kamu melepaskannya? Seberapa jauh pikiran dan perasaanmu memahami bahwa di dunia ini semua bukanlah kepunyaanmu, bahkan dirimu sendiri.

Huaaa, dua kalimat diatas adalah tulisan yang biasa saya tulis. Saya seperti merecall tulisan lama. Kali ini betul-betul “it’s your time”


Ada hikmah.

Setiap kejadian pasti ada hikmah yang bisa diambil. Ada evaluasi untuk perbaikan. Ada pembelajaran dari pengalaman.

Ternyata ikhlas itu sulit.

Sulit karena perasaan manusia yang “keduniawian” dan menyayangi dunianya. Itu wajar, tapi jika berlebihan maka tidak baik. Semua jika berlebihan pasti tidak baik.

Dalam kurun waktu beberapa hari terakhir, saya sedang disibukkan dengan perasaan-perasaan khawatir kehilangan sesuatu. Mungkin disitulah Allah mengerti bahwa sikap saya terlampau berlebihan, maka Allah menguji dengan hal ini. Dengan kehilangan yang tidak seberapa.

Setelah mendengar banyak nasehat, menenangkan diri, merefresh kembali fikiran, apa yang sedang saya alami tidak seberapa. Ada yang pernah mengalaminya lebih menyakitkan lagi, ada yang lebih-lebih merasakan pedih dibandingkan kehilangan ini.

Jadi, untuk apa terus mengingat dan menyesali.

Ikhlaslah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Mungkin dengan cara yang lain.


Nasehat untuk diri sendiri yang bisa saya rangkum dan betul-betul harus saya camkan adalah ;

  • Kita boleh terus berprasangka baik terhadap orang lain, namun waspada dengan orang baru itu lebih penting
  • Tidak baik bagi perempuan, berjalan seorang diri di tempat sepi jika kondisi tidak sangat-sangat memaksa itu terjadi
  • Merasa dengan cukup terhadap apa saja yang dimiliki, karena sejatinya sungguh semua hanyalah titipan.
  • Lebih berhati-hati lagi
  • Memperbanyak dzikir mengupayakan menjaga diri, ketika berada di tempat baru dan sepi
  • Pasrah kepada Allah, ikhtiar dulu tentu dan tawakkal 🙂

 

Semoga, kita dihindarkan dari kejahatan-kejahatan seperti ini. Semoga kita selalu dijaga Allah dalam setiap langkah. Amiin

Surabaya.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.