Semoga Jawa Pos Tidak Melewatkan Potensi Saya.

Assalamu’alaikum

Ini ditulis disela-sela perjalanan saya menuju Malang dari Surabaya. Melawan kebut-kebutan bus dan truck, lumayan kaget juga mengingat hampir 5 bulan motor setia yang biasanya menemani perjalanan pulang Malang – Ngawi tidak dipakai untuk perjalanan jarak jauh.

Tahap pertama interview Jawa Pos, sungguh diluar dugaan saya. Jika hari ini harus dilalui dengan Focus Group Discussion (FGD). Basicly saya selalu lemah ketika dihadapkan pada situasi yang memaksa untuk tampil didepan umum, berbicara, presentasi dan lain sebagainya. Demam panggung pasti seketika menyerang, terlebih jika membuat ide-ide di fikiran hanya berkecamuk enggan disuarakan. Maka bentuk lain yang saya lakukan adalah menulisnya.

Mengapa judul postingan ini harus dengan highlight seperti itu. Saya garis bawahi sekali lagi, dalam fgd tadi banyak pemaparan yang diutarakan oleh calon2 pendaftar. Tapi dalam bentuk kali ini saya selalu merasa lemah untuk memaksimalkan potensi yang ada. But, at least ini semua sungguh menjadi salah satu pengalaman luar biasa dalam hidup saya. Ketika semasa kecil hingga dewasa mimpi yang saya punya untuk ikut terjun ke dalam lingkup media. Media apapun itu. I’ve struggling today. InsyaaAllah.

Topik pada FGD tadi ingin saya tanggapi kembali, kode etik jurnalistik jelas harus dimiliki oleh semua pribadi yang mendedikasikan dirinya adalah seorang jurnalis. Tidak perlu dipaparkan panjang lebar lagi mengenai hal ini. Namun, yang perlu ditekankan adalah bagaimana seorang jurnalis tersebut akan mengamalkan janji kode etik tersebut pada saat melakukan reporting sebuah berita. Menurut saya, substansi yang dimiliki sebuah berita tersebut yang seharusnya mampu menjadikan si jurnalis menegakkan kode etik jurnalistik yang telah dimilikinya. Berita yang akan ia sajikan kepada khalayak merupakan konsumsi yang mau tidak mau masyarakat memang menyerapnya sebagai sebuah informasi. Entah bagaimana respon yang akan diberikan oleh masyarakat apakah itu dengan filter atau tidak. Tetapi, berita harus diibaratkan seperti sebuah makanan, kemudian jurnalis adalah pembuatnya. Pun jurnalis dapat berperan sebagai konsumen tidak hanya produsen (yang menghasilkan berita). Ketika si jurnalis ini menghasilkan berita yang layak untuk dikonsumsi maka ia setidaknya telah meracik makanan yang baik untuk masyarakat Indonesia yang itu artinya telah menyelamatkan dirinya sendiri dari konsumsi yang tidak layak. Kurang lebih seperti itu pendapat saya.

Semoga jurnalis atau siapapun pelaku pembuat berita di negara kita, memiliki pemahaman yang baik untuk menyediakan berita yang baik pula ya 🙂

Do’akan Jawa Pos tidak melewatkan potensi saya. Kalaupun ada takdir lain, karena Allah tau di level manakah saya harus berada sekarang. Keep struggle. Bismillah..

Dalam perjalanan, Pasuruan – Malang 28 Maret 2016

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.